Saat timnas sedang membenahi lini serang dan pertahanan untuk menghadapi laga kontra Bahrain dan Tiongkok, pada round 3 kualifikasi Piala Dunia 2026, nama Mees Hilgers menjadi sosok sentral perbincangan nyaris sepertiga penduduk Indonesia. Bek mumpuni milik Belanda itu diperkirakan berhasil dinaturalisasi dan memperkuat timnas pada laga versus Bahrain pada Kamis mendatang, 10/10/2024.
Di saat yang sama, Kota Metro sedang bersiap menghadapi Pilkada 2024. Nama Wahdi Sirajuddin, petahana, menjadi tokoh sentral yang memenuhi ruang obrolan pada setiap tongkrongan di gang sempit kawasan Imam Bonjol hingga Alamsyah Ratu Prawira Negara, dari warung-warung kopi di tengah hiruk pikuk Pasar Kopindo hingga kafe kekinian di kawasan Nasution dan Ahmad Yani.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Bagaimana tidak, kurang dari 60 hari status Wahdi sebagai wali kota akan dikembalikan kepada masyarakat. Kurang lebih 128 ribu penduduk Kota Metro, yang tercantum dalam DPT, akan memutuskan apakah sosok pembawa perubahan di dunia kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak ini akan kembali menduduki jabatannya pada 2025 hingga 2030 melalui mekanisme Pilkada?
Berbicara mengenai Wahdi menjadi menarik, bukan karena ia sosok yang sepenuhnya disukai oleh masyarakat. Namun, justru pejabat publik yang menyukai kinerjanya dan yang tidak menyukai kebijakannya, jumlahnya nyaris sama besar. Begitulah pemimpin. Wahdi acap kali mengambil kebijakan yang sulit dicerna oleh bawahan dan masyarakat, meski keberhasilannya bisa dirasakan.
Masyarakat mudah memahami setiap kebijakan yang bersifat membanggakan, pride. Semisal gedung megah, jalan mulus, dan lain pembangunan yang gegap gempita. Tetapi hal yang menyangkut taraf hidup, seringkali apatis sebab tak nampak mata objeknya.
Selama 25 tahun, terhitung sejak otonomi daerah pada 1999, Kota Metro menetapkan visinya sebagai Kota Pendidikan. Apabila dianalogikan sebagai seorang gadis, maka semestinya saat ini ia telah memiliki anak dan visi pendidikan sudah momong cucu. Tetapi selama itu pula, Kota Metro tidak mampu sedikit saja menggeser hiruk pikuk Kota Bandar Lampung sebagai kiblat pendidikan di Lampung.
Kenapa kita butuh hiruk pikuk? Ya karena dari keramaian itulah UMKM hidup dan bergeliat sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Itulah yang diharapkan bapak visi pendidikan Kota Metro, Moses Herman. Namun, saat ini, sekadar hiruk pikuk dari Kota Pendidikan pun Metro tidak memperolehnya, bagaimana dengan kualitasnya? Jadi boleh saja hiruk pikuk menjadi instrumen untuk mengategorikan visi Kota Pendidikan sebagai jargon basa-basi pembangunan. Ini belum ditambah segepok persoalan yang menyangkut sulitnya siswa Kota Metro untuk PKL di perusahaan swasta yang beroperasi di Kota Metro. Seperti pada kasus penolakan PKL dari Hotel AIDIA misalnya. Ironi kan.
Lupakan Kota Pendidikan. Pada 2021 arah angin telah berubah. Lambat laun Kota Metro justru dikenal sebagai kota sehat, baik dari sudut fasilitas maupun pencapaian kesehatan masyarakat. Terutama menyangkut isu nasional seperti stunting, kematian ibu dan anak saat kelahiran, maupun wabah demam berdarah. Kabupaten kiri-kanan masih berjibaku soal kesehatan, tetapi Kota Metro mendekati paripurna jika mengacu dari parameter kesehatan nasional.
Selama masa kepemimpinannya, Wahdi telah menunjukkan kapasitas untuk memimpin dengan visi yang terukur dan terarah, terutama di sektor kesehatan dan pembangunan sosial, yang menjadi batu pijakan strategis dari dokter spesialis sekaligus konsultan kandungan ini.
Tak dapat disangkal, salah satu capaian besar Wahdi adalah mentransformasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jenderal Ahmad Yani menjadi rumah sakit pendidikan utama sekaligus rumah sakit rujukan regional. Pencapaian itu bukan sekadar branding semata. Konsep rumah sakit pendidikan menggabungkan pelayanan kesehatan dengan pendidikan kedokteran, yang tak hanya meningkatkan mutu layanan tetapi juga membuka pintu bagi penelitian dan pengembangan medis di daerah yang sebelumnya mungkin saja masih dianggap terbelakang.
Dampak hiruk-pikuknya bagi geliat UMKM sekitar RSUD Ahmad Yani sangat jelas. Bagaimana tidak, jumlah kunjungan pasien sebelum tahun 2021 kurang dari 20 ribu orang, sementara pada akhir tahun 2023 tercatat 25 ribu pasien rawat inap dan 96 ribu pasien rawat jalan telah memilih rumah sakit ini untuk menjadi tempat berobat. Yang prestisius dari pencapaian bidang kesehatan adalah bakal calon Wali Kota Bandar Lampung serta lima kabupaten lainnya melakukan tes kesehatan di rumah sakit ini.
Namun, visi Wahdi tidak berhenti di situ. Dokter spesialis jantung serta fasilitas kateterisasi jantung kini tersedia di RSUD Ahmad Yani. Tentu membawa dampak luar biasa bagi masyarakat Kota Metro. Dengan kehadiran layanan spesialis ini, tidak terbayang bagaimana dahulu pasien serangan jantung harus menempuh perjalanan 50 Kilometer ke RSUD Abdul Moeloek. Beberapa bahkan meregang nyawa di jalan atau setelah tiba di ICU akibat lamanya waktu perjalanan yang ditempuh, menghambat penanganan medis yang sifatnya darurat dan segera.
Kemewahan masyarakat Kota Metro dari sisi kesehatan saat ini adalah penanganan serangan jantung bisa diperoleh di dekat rumah. Efek domino dari kebijakan ini jelas: kesehatan masyarakat meningkat, dan ekonomi lokal mendapat keuntungan dari pasien yang kini memilih untuk tinggal dan berobat di Metro.
Pencapaian Wahdi di bidang kesehatan bisa dikatakan sebagai permulaan, dari langkah lebih besar tentang bagaimana ia memajukan kota secara keseluruhan.
Pemerintah pusat saat ini memberikan apresiasi berupa tambahan dana transfer sebesar Rp43, 6 miliar—bukanlah kado yang datang begitu saja, melainkan hasil dari kinerja nyata di berbagai sektor.
Salah satu program yang memainkan peran kunci dalam pencapaian ini adalah Jama-PAI (Jaringan Masyarakat Peduli Anak dan Ibu), sebuah inisiatif yang menggabungkan dukungan kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi untuk ibu dan anak. Jama-PAI berfokus pada pengurangan angka stunting, sebuah masalah serius yang mengancam kualitas hidup anak-anak di seluruh Indonesia. Di bawah kepemimpinan Wahdi, Metro berhasil mencatatkan prevalensi stunting terendah di Provinsi Lampung pada tahun 2023, sebuah pencapaian yang menunjukkan betapa efektifnya intervensi pemerintah Kota Metro dalam mengatasi masalah ini.
Program itu, bersama dengan inisiatif lain, membawa Metro meraih Anugerah PPD Award (Penghargaan Pembangunan Daerah), yang menempatkan Metro di tiga besar nasional untuk kategori perencanaan pembangunan daerah. PPD Award adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah yang berhasil menunjukkan perencanaan pembangunan yang holistik, inovatif, dan berkelanjutan.
Wahdi dengan cermat memastikan bahwa setiap program pemerintahnya tidak hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang jelas, sebagaimana tercermin dalam penghargaan itu.
Keberhasilan lain juga dapat dilihat dalam Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD), di mana Kota Metro dinilai sebagai pemerintah daerah terbaik ke-9 di Indonesia. Pencapaian ini tak lepas dari gaya kepemimpinan Wahdi yang berfokus pada akuntabilitas dan efektivitas birokrasi.
Tantangan Pilkada 2024
Di balik kesuksesan Wahdi, tantangan besar sedang membayanginya. Ialah Bambang Iman Santoso, seorang penceramah dan mantan anggota DPRD Provinsi Lampung, menjadi penantang utama Wahdi dalam Pilkada Kota Metro 2024. Latar belakang Bambang sebagai penceramah dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) memberikan warna baru dalam kompetisi Pilwalkot Metro.
Bambang membangun narasi yang lebih spiritual dan berfokus pada moralitas masyarakat. Ia digambarkan sebagai sosok yang seolah tanpa ceIa. Bambang tentu memiliki peluang yang sama baiknya, tak lain karena memiliki jaringan kuat di kalangan NU dan mungkin mampu menarik dukungan dari segmen pemilih yang menginginkan perubahan. Lagi pula sudah pasti Bambang mendulang suara dari pemilih yang menyoal jalan berlubang.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Wahdi adalah kerusakan jalan provinsi di Kota Metro. Jalan berlubang telah menjadi perhatian masyarakat dan bahan gorengan politik dalam beberapa bulan terakhir. Banyak warga tidak sepenuhnya memahami bahwa perbaikan jalan provinsi adalah wewenang pemerintah provinsi, bukan kewenangan wali kota. Perbaikan jalan provinsi semestinya didanai melalui anggaran provinsi.
Mekanisme perbaikan jalan provinsi dimulai dari pengajuan usulan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah provinsi, yang kemudian akan dievaluasi berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan. Proses ini seringkali memerlukan waktu yang tidak singkat, dan masyarakat mungkin tidak memahami lambatnya progres perbaikan yang diharapkan terutama jika menyangkut kepentingan politik nasional dan provinsi, mengingat Wahdi merupakan wali kota yang terpilih dari jalur independen.
Dalam konteks politik, Wahdi semestinya menjelaskan dengan terbuka kepada masyarakat tentang bagaimana ia diacuhkan oleh Gubernur Lampung setelah setiap pagi, selama beberapa minggu meminta perbaikan jalan provinsi, sebelum akhirnya upaya mengemis itu dikabulkan sehingga kepuasan masyarakat atas infrastruktur yang tidak mencakup kewenangannya terpenuhi. Kerusakan jalan provinsi tentu menjadi “badik” bagi lawan politik untuk menyerang reputasi dan kredibilitas kepemimpinannya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Memang Beda
|
Meskipun Wahdi berupaya menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang kompeten dengan kinerja nyata, tetapi politik selalu bergerak dalam ketidakpastian. Ia tidak hanya harus mengandalkan pencapaian yang telah diraihnya, tetapi juga harus dapat mengartikulasikan visi dan keinginannya terhadap kemajuan Kota Metro sehingga dapat dpahami dan dimaklumi oleh masyarakat.
Pilkada 2024 akan menjadi penentu—apakah masyarakat Kota Metro akan kembali mempercayakan masa depan mereka kepada sosok yang telah menjadi panah penunjuk arah mata angin, sosok yang sebenarnya sudah memandu perubahan itu sendiri. Perubahan yang menegaskan ke mana arah pembangunan selanjutnya berhembus. Bukankah persoalan paling substansial setelah pendidikan adalah kesehatan? Ke depan dampak kemajuan fasilitas kesehatan di Kota Metro akan menjadi ladang emas PAD, kemajuan sektor kesehatan telah berproses secara alamiah setelah terbangun ekosistemnya, sebagaimana sektor pendidikan di Kota Bandar Lampung yang tak tergoyahkan.
Apakah mata pilih Kota Metro akan memilih “panah penunjuk arah mata angin” yang selalu mengarah ke titik yang sesuai dengan kehendak mereka? Memilih mengesampingkan gerak alamiah pembangunan yang berjalan baik setelah ekosistemnya terbentuk? Atau memilih pembangunan sektor baru yang ditawarkan oleh Bambang Iman Santoso? Waktu akan menjawab pada 27 November mendatang.
Namun, satu yang pasti, hingga sampai saat itu tiba, Wahdi Sirajuddin telah mengukir jejak pembangunan yang sulit dipungkiri pada sektor kesehatan.
Sejatinya panah penunjuk arah angin bukanlah mengubah arah angin atau menunjukkan jalan yang mudah, melainkan memandu untuk melangkah ke arah yang benar. (Oleh: Arif Surakhman)
Baca juga:
Tony Rosyid: Semua Atas Petunjuk Sang Dalang
|